Catatan sejarah Pulau Jawa yang ditandai oleh
prasasti atau berita-berita dari pedagang China dan India, ditengarahi
oleh beberapa pusat peradaban. Dari barat berupa cerita tentang
Salakanagara kemudian dilanjutkan prasasti mengenai Tarumanegara, bagian
tengah cerita mengenai Kalingga dilanjutkan dengan Mataram Kuno, dan
prasasti Kanjuruhan yang dilanjutkan oleh Kerajaan Medang.
Kerajaan Salakanagara
Salakanagara, berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
(yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta)
diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.
Raja pertama Salakanagara bernama Dewawarman yang berasal dari India. Ia mula-mula menjadi duta negaranya (India) di Pulau Jawa. Kemudian Dewawarman menjadi menantu Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya. Istrinya atau anak Aki Tirem bernama Pohaci Larasati. Saat menjadi raja Salakanagara, Dewawarman I ini dinobatkan dengan nama Prabhu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagara. Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Cat
: bukti fisik berupa prasasti mengenai Salakanagara belum ditemukan.
Sumbernya hanya merupakan hipotesa dari pernyataan Ptolemeus tentang
Argyre dan Naskah Wangsakerta.
Kerajaan Tarumanagara
Bukti
keberadaan Kerajaan Tarumanegara diketahui melalui sumber-sumber yang
berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7
buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan
satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa
Kerajaan Tarumanegara dibangun oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman tahun
358 M dan beliau memerintah sampai yahun 382 M. Makam Rajadirajaguru
Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomatri (wilayah Bekasi). Kerajaan
Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.
Cat
:Prasasti yang berkaitan dengan kerajaan Tarumanagara sebagian besar
ditulis dengan Huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Dan sebagian
ditulis dengan menggunakan aksara ikal yang sampai sekarang belum bisa
dibaca (diketahui artinya).
Kerajaan Kalingga
Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandi Minyak, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Cat
: bukti tentang Kalingga hanya diketahui dari sumber-sumber China yang
menyebut Holing untuk Keling yang dikemudian hari dikenal sebagai
Kalingga dan Naskah Wangsakerta. Bukti fisik berupa prasasti sampai
sekarang belum ditemukan.
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan
Mataram kita kenal dari sebuah prasasti yang ditemukan di Desa Canggal
(barat daya Magelang). Prasasti ini berangka tahun 732 M, ditulis dengan
huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah sekali.
Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang
Çiwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya.
Daerah ini letaknya di sebuah pulau yang mulia, Yawadwîpa, yang kaya
raya akan hasil bumi, terutama padi dan emas.
Raja Sanjaya
berdasarkan Prasasti Canggal(732 M), merupakan pendiri dari Wangsa
Sanjaya yang bertahta di Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Menurut
Prasasti Canggal (732 M), ia adalah kemenakan dari Sanna, penguasa
sebelumnya. Raja Sanjaya mendirikan candi-candi untuk memuja Dewa Siwa.
Sanjaya juga belajar agama Hindu Siwa dari para pendeta yang ia panggil.Sanjaya meninggal pada pertengahan abad ke-8 dan kedudukannya di Mataram digantikan oleh Raka Panangkaran((760-780), dan terus berlanjut sampai masa Dyah Wawa (924-928), sebelum digantikan oleh Mpu Sindok(929) dari Wangsa Isyana.
Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (tahun 886-898), lalu raja Balitung/Rakai Watukura yang bergelar sri Iswarakesawotsawatungga (tahun 898-910),
merupakan raja pertama yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa Kanjuruhan-prasasti Dinoyo
ditaklukkan.
Istilah Rakai pada zaman ini identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Cat
: Kerajaan Mataram Kuno diperintah secara bergantian oleh Wangsa
Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Prasasti yang ditinggalkan ditulis dalam
huruf Pallawa berbahasa Sanksekerta.
Kerajaan Kanjuruhan
Prasasti
Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa
Kuno dan bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya.
Keistimewaan lain adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala
berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau tahun 760 Masehi. Dalam
Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan.
Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760,
berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam
abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa
Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana),
yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan
diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli
Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa
Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).
Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :- Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
- Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
- Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
- Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
- Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
- Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
- Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
- Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
- Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Prasasti
Sangguran (Batu Minto) asal daerah Ngandat, Malang (Jawa Timur), yang
pernah dibawa ke luar negeri oleh Stamford Raffles pada 1814, yang
berasal dari abad ke-10. Prasasti Sangguran (Prasasti Minto), dikenal
dengan ‘Lord Minto’ atau ‘Minto Stone’ untuk versi Skotlandia (Inggris)
merupakan prasasti beraksara dan bahasa Jawa Kuno.
Prasasti itu
merupakan reruntuhan candi di desa Ngandat, Malang, dan dinilai sangat
penting dari sisi historis, karena menjadi bagian sejarah peralihan dari
kerajaan Mataram ke Jawa Timur.Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya adalah tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka. Jika dikonversi ke dalam tahun Masehi, maka identik dengan 2 Agustus 928.
Prasasti tersebut menyebutkan pula nama Rakryan Mapatih I hino pu Sindok Sri Isanawikrama dan istilah sima kajurugusalyan di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pandai (besi, perunggu, tembaga, dan emas). Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.
Ahli epigrafi Boechari
menafsirkan bahwa mungkin pada masa pemerintahan Raja Wawa ada
sekelompok pandai atau seorang pemuka pandai, yang berjasa kepada raja.
Pendapatnya didasarkan atas analogi dari kitab kuno Pararaton yang
menyebutkan Mpu Gandring, tokoh yang dianggap pembuat keris legendaris,
bersama keturunannya mendapat hak istimewa dari Sri Rajasa (Ken Arok)
berupa anugerah sima kajurugusalyan (Sejarah Nasional Indonesia II,
1984).
Di mata para epigraf, Prasasti Sangguran
juga dianggap unik karena menyebutkan istilah rakryan kanuruhan.
Menurut J.G. de Casparis, kanuruhan berasal dari nama kerajaan
Kanjuruhan yang disebut dalam Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Kerajaan itu
pernah berpusat di sekitar Malang sekarang.
Rupa-rupanya kerajaan Kanjuruhan itu pada suatu ketika ditaklukkan oleh raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryan kanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara pada candi kerajaan itu. Sayangnya hubungan antara Prasasti Sangguran dengan Candi Prambanan, belum diteliti secara mendalam oleh para pakar.
Rupa-rupanya kerajaan Kanjuruhan itu pada suatu ketika ditaklukkan oleh raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryan kanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara pada candi kerajaan itu. Sayangnya hubungan antara Prasasti Sangguran dengan Candi Prambanan, belum diteliti secara mendalam oleh para pakar.
Cat : Prasasti
Dinoyo unik, karena ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno (Kawi) dan
berbahasa Sanksekerta. Kerajaan Kanjuruhan, jika merujuk kepada tahun
yang terdapat pada prasasti Dinoyo (760 M), berarti sejaman dengan
Mataram Kuno pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran yang naik tahta
pada tahun 760 menggantikan Sanjaya.
Kerajaan Medang
Mpu Sindok,
adalah raja terakhir dari Wangsa Sanjaya, yang berkuasa Kerajaan
Mataram Kuno pada tahun 928-929. Diduga karena letusan Gunung Merapi,
pada tahun 929 Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Istana yang baru dibangun di Tamwlang (Tembelang)
sekitar tahun 929, di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira adalah
wilayah Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi
disebut Mataram, melainkan disebut Medang (meski beberapa
literatur masih menyebut Mataram). Mpu Sindok juga merupakan pendiri
Wangsa Isyana, sehingga kerajaan baru tersebut kadang juga disebut Isyana.
Peristiwa Mahapralaya
Kerajaan Medang runtuh tahun 1006 pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh (cicit Mpu Sindok). Peristiwa hancurnya istana Watan terkenal dengan sebutan Mahapralaya atau “kematian besar”.Kronik Cina dari Dinasti Sung mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa Teguh mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 Dharmawangsa Teguh lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Watan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa Teguh tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa - Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil untuk membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar